Jumat, Januari 16, 2009

KEPUTUSANKU (lanjutan)


Terkadang kita dihadapkan pada pilihan
Kata orang, pilihlah dengan hati nurani
Kataku, pilihlah dengan hati dan pikiranmu.


Dengan disanderanya semua karya ciptaku yang berharga (seenggaknya untukku) aku terpaksa memeras otak untuk mendapatkannya kembali. Bermacam-macam tak-tik bermunculan di kepalaku, mulai dari mengacak-acak kamar ibuku untuk membebaskan mereka, memelas-melas agar ibu mengembalikannya, sampai menghasut adikku untuk mencari tahu dimana benda itu disimpan. Tapi apa dayaku, semuanya gagal. Keputusan ibuku seperti karang yang tak dapat diruntuhkan.

Sudah dua hari berlalu dan aku tidak mendapatkan tanda-tanda apa yang aku cari. Aku tiduran di kamar sambil memandang langit-langit berwarna putih. Sejak kehilangan mereka semua aku juga kehilangan mood untuk menulis, apalagi belajar. Aku memutar badan menghadap tembok sambil meraih bantal untuk dipeluk. Saat itulah ada seseorang membuka kamar tidurku. Aku tidak melirik, pura-pura tidur.

"An, ayah tahu kamu sedang tidak tidur." kata seseorang lembut. Aku berbalik. Ayah duduk di sampingku.

"Kenapa yah?"

"Kamu lagi berantem apa sama ibumu? Kelihatannya akhir-akhir ini tampang Ibumu kusut terus."

"hah... males yah." kataku sambil menghadap tembok lagi. "Ibu ngga suka aku nulis. Kemarin ulangan fisikaku dapet empat. Itu dijadiin alasan buat ngambil semua cerpenku. Kesel!"

"Sudahlah..." kata ayah sambil membelai rambutku. "Ibu cuma pengen kamu rajin belajar. Itu aja kok."

"Tapi jangan gitu caranya dong. Setiap orang punya hak azasi buat melakukan apa yang disukai. Anita suka nulis. Lagian temen-temen di sekolah banyak yang suka cerpenku kog Yah. Apa salahnya?"

"Tapi nilaimu terganggu karena itu." jawabnya. Aku menoleh. Ayah berhenti membelai rambutku. "Ibumu itu dulu susah payah biar bisa masuk sekolah. Dia membiayai sendiri sekolahnya, nyari beasiswa sekaligus kerja sambilan. Sekolah itu kesempatanmu saat ini dan kamu cuma bisa belajar sekarang. Makanya ibumu sangat kesal kalau kau tidak serius dengan sekolahmu."

"AKU SERIUS!!" sahutku.

"Tapi sikapmu itu sikap orang yang tidak serius. Setiap hari melamun dan menulis saja, lupa dengan pelajaranmu di sekolah. Ibumu kecewa sekali."

Aku diam, tak punya pembelaan.

"Kau harus belajar mana yang penting dan mana yang bukan. Jangan sia-siakan usaha kami, terutama ibumu. Hentikan dulu kegiatan-kegiatan yang tidak perlu. Perbaiki nilaimu dulu."

Aku masih diam

"Pikirkanlah itu. Sekolahmu itu masa depanmu."

Ayah beranjak, meninggalkan kamar. Sedang aku masih terdiam, memikirkan sesuatu.
***

Aku mulai rajin belajar lagi. Aku tidak menggerutu ataupun mengeluhkan apapun lagi. Termasuk soal cerpenku yang disita. Setiap pagi kerjaku cuma bangun tidur, mandi, belajar sebentar, bersiap ke sekolah, masuk sekolah, pulang, makan, les, bikin PR, belajar, tidur. Semua orang rumah heran, aku juga.

Mataku mulai mengantuk. Suara ribut televisi sudah tidak terdengar. Kulirik jam weker di meja, jam sepuluh malam. Pantas saja. Buku-buku di meja langsung kurapikan.

Derit pintu memecah kesunyian kamar. Aku menoleh kaget. Ternyata ibu.

"Belom tidur." tanyanya

"Baru mau tidur. Kenapa? Tumben-tumbenan ibu inget aku."

"Emangnya ibu ngga boleh nanyain anaknya?" ucapnya tersinggung. Dia meletakkan setumpuk kertas di atas mejaku.

Aku kaget. Coretan-coretan dalam kertas itu amat kukenal.

"Ibu lihat kau sudah rajin belajar sekarang. jadi ibu kembalikan. Awas aja kalau melamun seperti kemarin lagi." katanya angkuh. Ibu berbalik dan pergi.

Aku tidak tahu bagaimana mengutarakan yang aku rasakan sekarang. Aku ambil semua kertas itu. Aku rindu coretan-coretan jelek tanganku itu. Coretan-coretan mirip ceker ayam itu aku pandangi sesaat. Di waktu lain aku segera membuka lemari dan mencari-cari kotak yang aku sembunyikan tepat di sudut. Di sana aku simpan semua coretan baru setelah yang lama menghilang. Dan kini mereka berteriak-teriak melihat seniornya kembali.

Mungkin ibu ingin aku jadi anak jenius akademik, namun aku tidak akan bisa melupakan kecintaanku menulis. Rasa bahagia ketika menuliskan kata demi kata meresap begitu dalam. Dan tidak akan kutinggalkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar