Jumat, Januari 09, 2009

DUA ORANG BAIK KENAPA TIDAK BAHAGIA?

Dua orang yang baik, tapi, mengapa perkawinan tidak
berakhir bahagia. Apa yang salah? Apa ini yang anda alami?
Ada bacaan santai...semoga bermanfaat.
Ibu saya adalah seorang yang sangat baik, sejak kecil,
saya melihatnya dengan begitu gigih menjaga keutuhan
keluarga. Ia selalu bangun dini hari, memasak bubur
yang panas untuk ayah, karena lambung ayah tidak baik,
pagi hari hanya bisa makan bubur.

Setelah itu, masih harus memasak sepanci nasi untuk
anak-anak, karena anak-anak sedang dalam masa
pertumbuhan, perlu makan nasi, dengan begitu baru
tidak akan lapar seharian di sekolah.

Setiap sore, ibu selalu membungkukkan badan menyikat
panci, setiap panci di rumah kami bisa dijadikan
cermin, tidak ada noda sedikikt pun.

Menjelang malam, dengan giat ibu membersihkan lantai,
mengepel seinci demi seinci, lantai di rumah tampak
lebih bersih dibanding sisi tempat tidur orang lain,
tiada debu sedikit pun meski berjalan dengan kaki
telanjang.

Ibu saya adalah seorang wanita yang sangat rajin.

Namun, di mata ayahku, ia (ibu) bukan pasangan yang
baik.

Dalam proses pertumbuhan saya, tidak hanya sekali saja
ayah selalu menyatakan kesepiannya dalam perkawinan,
tidak memahaminya.

Ayah saya adalah seorang laki-laki yang bertanggung
jawab.

Ia tidak merokok, tidak minum-minuman keras, serius
dalam pekerjaan, setiap hari berangkat kerja tepat
waktu, bahkan saat libur juga masih mengatur jadwal
sekolah anak-anak, mengatur waktu istrirahat
anak-anak, ia adalah seorang ayah yang penuh tanggung
jawab, mendorong anak-anak untuk berpretasi dalam
pelajaran.

Ia suka main catur, suka larut dalam dunia buku-buku
kuno.

Ayah saya adalah seoang laki-laki yang baik, di mata
anak-anak, ia maha besar seperti langit, menjaga kami,
melindungi kami dan mendidik kami.

Hanya saja, di mata ibuku, ia juga bukan seorang
pasangan yang baik, dalam proses pertumbuhan saya,
kerap kali saya melihat ibu menangis terisak secara
diam diam di sudut halaman.

Ayah menyatakannya dengan kata-kata, sedang ibu dengan
aksi, menyatakan kepedihan yang dijalani dalam
perkawinan.

Dalam proses pertumbuhan, aku melihat juga mendengar
ketidakberdayaan dalam perkawinan ayah dan ibu,
sekaligus merasakan betapa baiknya mereka, dan mereka
layak mendapatkan sebuah perkawinan yang baik.

Sayangnya, dalam masa-masa keberadaan ayah di dunia,
kehidupan perkawinan mereka lalui dalam kegagalan,
sedangkan aku, juga tumbuh dalam kebingungan, dan aku
bertanya pada diriku sendiri : Dua orang yang baik
mengapa tidak diiringi dengan perkawinan yang bahagia?

Pengorbanan yang dianggap benar.

Setelah dewasa, saya akhirnya memasuki usia
perkawinan, dan secara perlahan -lahan saya pun
mengetahui akan jawaban ini.

Di masa awal perkawinan, saya juga sama seperti ibu,
berusaha menjaga keutuhan keluarga, menyikat panci dan
membersihkan lantai, dengan sungguh-sungguh berusaha
memelihara perkawinan sendiri.

Anehnya, saya tidak merasa bahagia ; dan suamiku
sendiri, sepertinya juga tidak bahagia.

Saya merenung, mungkin lantai kurang bersih, masakan
tidak enak, lalu, dengan giat saya membersihkan lantai
lagi, dan memasak dengan sepenuh hati.

Namun, rasanya, kami berdua tetap saja tidak bahagia.
.

Hingga suatu hari, ketika saya sedang sibuk
membersihkan lantai, suami saya berkata : istriku,
temani aku sejenak mendengar alunan musik!

Dengan mimik tidak senang saya berkata : apa tidak
melihat masih ada separoh lantai lagi yang belum di
pel ?

Begitu kata-kata ini terlontar, saya pun termenung,
kata-kata yang sangat tidak asing di telinga, dalam
perkawinan ayah dan ibu saya, ibu juga kerap berkata
begitu sama ayah.

Saya sedang mempertunjukkan kembali perkawinan ayah
dan ibu, sekaligus mengulang kembali ketidakbahagiaan
dalam perkawinan mereka.

Ada beberapa kesadaran muncul dalam hati saya.

Apa Yang kamu inginkan ?

Saya hentikan sejenak pekerjaan saya, lalu memandang
suamiku, dan teringat akan ayah saya.

Ia selalu tidak mendapatkan pasangan yang dia inginkan
dalam perkawinannya,

Waktu ibu menyikat panci lebih lama daripada
menemaninya.

Terus menerus mengerjakan urusan rumah tangga, adalah
cara ibu dalam mempertahankan perkawinan, ia memberi
ayah sebuah rumah yang bersih, namun, jarang
menemaninya, sibuk mengurus rumah, ia berusaha
mencintai ayah dengan caranya, dan cara ini adalah
mengerjakan urusan rumah tangga.

Dan aku, aku juga menggunakan caraku berusaha
mencintai suamiku.

cara saya juga sama seperti ibu, perkawinan saya
sepertinya tengah melangkah ke dalam sebuah cerita,
dua orang yang baik mengapa tidak diiringi dengan
perkawinan yang bahagia.

Kesadaran saya membuat saya membuat keputusan
(pilihan) yang sama.

Saya hentikan sejenak pekerjaan saya, lalu duduk di
sisi suami, menemaninya mendengar musik, dan dari
kejauhan, saat memandangi kain pel di atas lantai
seperti menatapi nasib ibu.

Saya bertanya pada suamiku : apa yang kau butuhkan ?

Aku membutuhkanmu untuk menemaniku mendengar musik,
rumah kotor sedikit tidak apa-apa-lah, nanti saya
carikan pembantu untukmu, dengan begitu kau bisa
menemaniku! ujar suamiku.

Saya kira kamu perlu rumah yang bersih, ada yang
memasak untukmu, ada yang mencuci pakianmu..dan saya
mengatakan sekaligus serentetan hal-hal yang
dibutuhkannya.

Semua itu tidak penting-lah! ujar suamiku. Yang paling
kuharapkan adalah kau bisa lebih sering menemaniku.

Ternyata sia-sia semua pekerjaan yang saya lakukan,
hasilnya benar-benar membuat saya terkejut.

Kami meneruskan menikamti kebutuhan masing-masing, dan
baru saya sadari ternyata dia juga telah banyak
melakukan pekerjaan yang sia-sia, kami memiliki cara
masing-masing bagaimana mencintai, namun, bukannya
cara pihak kedua.

Jalan kebahagiaan

Sejak itu, saya menderetkan sebuah daftar kebutuhan
suami, dan meletakkanya di atas meja buku,

Begitu juga dengan suamiku, dia juga menderetkan
sebuah daftar kebutuhanku.

Puluhan kebutuhan yang panjang lebar dan jelas,
seperti misalnya, waktu senggang menemani pihak kedua
mendengar musik, saling memeluk kalau sempat, setiap
pagi memberi sentuhan selamat jalan bila berangkat.

Beberapa hal cukup mudah dilaksanakan, tapi ada juga
yang cukup sulit, misalnya dengarkan aku, jangan
memberi komentar.

Ini adalah kebutuhan suami. Kalau saya memberinya
usul, dia bilang akan merasa dirinya akan tampak
seperti orang bodoh.

Menurutku, ini benar-benar masalah gengsi laki-laki.

Saya juga meniru suami tidak memberikan usul, kecuali
dia bertanya pada saya, kalau tidak saya hanya boleh
mendengar dengan serius, menurut sampai tuntas,
demikian juga ketika salah jalan.

Bagi saya ini benar-benar sebuah jalan yang sulit
dipelajari, namun, jauh lebih santai daripada
mengepel, dan dalam kepuasan kebutuhan kami ini,
perkawinan yang kami jalani juga kian hari semakin
penuh daya hidup.

Saat saya lelah, saya memilih beberapa hal yang
gampang dikerjakan, misalnya menyetel musik ringan,
dan kalau lagi segar bugar merancang perjalanan keluar
kota .

Menariknya, pergi ke taman flora adalah hal bersama
dan kebutuhan kami, setiap ada pertikaian, selalu
pergi ke taman flora, dan selalu bisa menghibur
gejolak hati masing-masing.

Sebenarnya, kami saling mengenal dan mencintai juga
dikarenakan kesukaan kami pada taman flora, lalu
bersama kita menapak ke tirai merah perkawinan,
kembali ke taman bisa kembali ke dalam suasana hati
yang saling mencintai bertahun-tahun silam.

Bertanya pada pihak kedua : apa yang kau inginkan,
kata-kata ini telah menghidupkan sebuah jalan
kebahagiaan lain dalam perkawinan. Keduanya akhirnya
melangkah ke jalan bahagia.

Kini, saya tahu kenapa perkawinan ayah ibu tidak bisa
bahagia, mereka terlalu bersikeras menggunakan cara
sendiri dalam mencintai pihak kedua, bukan mencintai
pasangannya dengan cara pihak kedua.

Diri sendiri lelahnya setengah mati, namun, pihak
kedua tidak dapat merasakannya, akhirnya ketika
menghadapi penantian perkawinan, hati ini juga sudah
kecewa dan hancur.

Karena Tuhan telah menciptakan perkawinan, maka
menurut saya, setiap orang pantas dan layak memiliki
sebuah perkawinan yang bahagia, asalkan cara yang kita
pakai itu tepat, menjadi orang yang dibutuhkan pihak
kedua! Bukannya memberi atas keinginan kita sendiri,
perkawinan yang baik, pasti dapat diharapkan.

HAVE A NICE DAY ALL...... MAY GOD BLESS U....Amiiin.

from : LUQY

3 komentar:

  1. Ya, saya sangat suka ke taman flora, istri saya kelhatan sangat cantik kalau di sana.

    Pada dasarnya saya setuju dgn yg disampaikan istri saya, saya cuma mau menambahkan kalau urusan ranjang tak kalah penting.

    BalasHapus
  2. thanks mbak, membaca cerita diatas seperti menampar diri saya sendiri.
    Persis seperti yg saya alami, setiap hari mengeluh capek mengurus rumah tapi suami malah pergi berselingkuh dengan wanita lain, mgkin cara sy mencintainya yg salah sehingga dia mencari wanita lain utk bersenang2, seandainya saya membaca cerita mbak sejak awal....

    BalasHapus
  3. nice story
    ya duduk bersama sejenak pastilah lebih berarti,,,

    BalasHapus