Rabu, Agustus 19, 2009

TAMAN YANG MENANTI

Helaan angin menyapu embun di dedaunan. Matahari masih malu-malu keluar dari ufuk timur yang kemerahan. Sebuah cerita harusnya sudah bangun dari tidur. namun hari ini dia tidak muncul. Juga si pembawa cerita. Dia tak terlihat ribanya.

Lalu aku bertanya pada waktu yang telah pergi. mungkin terlihat olehnya kenapa si pembawa cerita tak kembali ke taman ini. Tapi waktu tak berbicara., hanya memberikanku pada malam sebelumnya. kala itu embun masih di udara. Bintang masih mengedip nakal di balik kegelapan awan.



Si pembawa cerita terdiam di suatu ruang. Seorang wanita memberinya cerita akan gelapnya dunia di seberang sana. Wanita itu tak peduli gadis di depannya tak bergeming dan hanya menatap langit. Namun di akhir cerita akhirnya dia tersadar kalau ceritanya sia-sia.

"Kau hanya wanita, cukup belajar menjadi ibu dan istri maka hidupmu akan berguna. Tidak perlu sampai pergi jauh hanya untuk belajar. Apalagi yang perlu kau pelajari?" kata wanita itu di ujung kesabarannya.

"Itu cukup untukmu, tapi tidak untukkmu. Di luar sana banyak hal baru yang bisa aku pelajari. Aku bisa melihat langit yang lain. Tidak hanya langit di sini."

"Kau tidak akan menemukan apa-apa selain kesia-siaan. Kau baru tersadar nanti ketika menjadi istri. Kau tidak akan bisa berbuat apa-apa dan baru sadar impianmu gila. Pergilah bersolek agar mendapat pria terhormat. hidupmu akan berharga."

"Hidupku tidak akan berharga kalau aku masih terkurung di sini." kata gadis terakhir kali. Si wanita telah merah padam mukanya, dipukul akan kerasnya hati gadis di depannya.

Wanita itu pergi. Ia meninggalkan gadis itu di tengah kamar terkunci. "Dia harusnya sadar kodrat wanita." pikir wanita itu di kepalanya. Dikiranya hanya dia yang memiliki kunci ruang itu. Tanpa ia tahu, gadis itu punya kunci yang selalu ia bawa kemana saja, kecerdasan. Wanita itu telah salah, mengira kamar itu mampu mengurung gadis itu. Saat pagi menjemput, dia baru tahu tak satupun ruang di rumah itu yang mampu menghalangi gadis itu pergi.

***

Taman belum terbangun, embun belum turun. Tapi gadis itu melangkah ke situ menjejakkan cerita terakhirnya. Angin dingin memeluknya. Bintang menatapnya pergi. bahkan sampai badannya menghilang di ujung jalan seorang diri.

Kata orang, ia pergi ke seberang lautan mencari ilmu. Sebagian mencercanya karena berbuat gila. Sebagian lagi menghabiskan waktu dengan bercerita kalau di sana ia menemukan malapetaka. Sisanya tak berkata apa-apa, hanya melanjutkan pekerjaannya yang biasa. Lalu di ujung desa, taman tetap menanti ia kunjungi. Di sudutnya, ayunan yang biasa ia duduki berayun pelan bersama angin. Di rumah terakhir ia berdiam, si wanita berhenti mencaci. Mungkin baru terasa olehnya sebuah sepi.

Beberapa tahun cukup untuk menghapus kenangan orang-orang akan dirinya. Ayunan sekarang berganti teman dengan lumut. Pun bunga-bunga dan semak yang kini merimbun. Kini semua berubah menjadi lebat. Di rumah dekat tempatnya Si wanita duduk nelangsa. Meratap akan hilang putrinya.

Tiba-tiba suara langkah kaki mengusik telinga. Dia membalik badan. Taman kembali bernafas, angin berhembus lebih kencang, di balik semak rerumputan melangkah seorang putri. Senyum itu mengembang bersama kebanggaan. Dia melangkah semakin dekat.

"Aku temukan semua yang aku inginkan. Termasuk semua yang paling megah dan paling jelata. Tapi Aku kembali, karena aku rindu tempat ini."

"Kan sudah kubilang, tak ada gunanya semua itu, toh akan pulang."

"Sebaliknya." gadis itu menggeleng. "Aku mendapat banyak hal. Aku banyak belajar. Kalau aku mau aku bisa mendapat segalanya di tempat jauh itu. Aku ada di sini untuk mengubah tempat ini agar lebih baik."

cerpenku yang paling aneh...

3 komentar: