Hari sabtu itu kami pergi menuju desa Songan dan Blandingan. Rencana awalnya sih berangkat dari Ubud jam delapan pagi, sayangnya karena beberapa alasan akhirnya perjalanan tidak mengikuti jadwal sebelumnya. Kami baru berangkat saat hari sudah agak siang sehingga di Songan kami harus menghabiskan sarapan dan makan siang hampir bersamaan. Benar-benar orang Indonesia sejati!
Tempat dimana kami menghabiskan hari pertama adalah di desa Blandingan. Desa yang cukup tinggi keberadaannya. Kami menjangkaunya dengan mobil pick up yang juga penuh dengan barang-barang sumbangan. Tapi meskipun dengan mobil yang sudah berteman dengan tanjakan ini, perjalanan ke desa Blandingan cukup membuat jantungku tertekan. Tepat di tikungan sekaligus tanjakan tajam mobil itu tiba-tiba berhenti, padahal kami sedang asik berpose untuk foto-foto narsis kami di tempat itu. Sebagian teman-teman sudah berteriak, aku sendiri langsung memegang erat-erat apapun yang bisa kugapai agar tidak terjatuh. Bayangan kalau mobil itu akan berjalan mundur (alias menurun tajam) langsung muncul di kepalaku. Saat itu jantungkupun kompak dengan teman-teman, berteriak sekencangnya.
Untung saja mobil itu hanya berhenti, Bli Pande langsung mengisyaratkan agar semua turun. Akulah yang turun pertama kali untuk menyelamatkan diri. Tepat saat kakiku menyentuh tanah aku merasa nyawaku kembali ke tempatnya. Meski setelah itu harus berjalan kaki sampai di jalan yang agak landai, aku merasa cukup senang karena selamat. hehe...
Sesampainya di Bladingan aku agak dikejutkan dengan keadaan desa itu. Rumah-rumah mereka masih sederhana, terbuat dari kayu dan beralaskan tanah. Anak-anaknyapun sederhana saja, tanpa peduli ingus yang masih menempel di wajah serta tak peduli juga pada pakaian kumal yang mereka kenakan. Debu seakan berkuasa, udara di situ membuatku kurang nyaman. Untung saja Mbak Santi membawa masker lebih sehingga aku bisa sedikit mempertahankan diri.
Meskipun terlambat, hampir semua acara dapat terlaksana, pembagian sumbangan, permainan dengan anak-anak, noton film Laskar Pelangi, dan lainnya. Di luar itu semua, kami memberikan PR untuk anak-anak Blandingan agar menulis harapan mereka di selembar kertas. Banyak harapan yang tertampung, tapi satu harapan yang paling kuingat.
Aku Ingin pergi ke Amricka
Begitu isinya. Salah satu dari harapan-harapan besar anak-anak di desa terpencil. Di atas Bukit yang bahkan perlu menempuh jarak beberapa kilometer untuk mendapatkan air itu terdapat harapan seseorang yang ingin menjelajah dunia. Sementara di luar sana, di tempat yang lebih baik, orang-orang menyalahkan keadaan atas kegagalan mereka. Aku bersyukur di sini ada anak yang masih mau bermimpi.
bersambung..
wah hebat...
BalasHapusmoga aja mimpi mereka ga hilang dihimpit keadaan seperti orang di luar sana. Hehe jadi ingat waktu kecil dulu juga suka memuja amerika padhl ga tahu amerika dimana. Pake ngebual ke temen klo punya rumah di amrik
BalasHapusAKu berasal dari sana juga bro..mreka adalah penduduk asli bali = bali age, kemauan keras .....jika keluar dari desa pasti 90% berhasil...itu karena menjangkau SD aja berbukit2...mreka berangkat dari subuh jam 4 pagi dan tiba di sekolah jam 6 pagi..kegighihan mereka sekolah terkadang saya menangis..pengen memebangun desa jika punya uang banyak..bukan untuk uang di koropsikan pemerintah......tapi sebagian besar dengan kondisi alam mereka tak mamapu sekolah karena menempuh jlan jauh..dan menahan lapar pulang sekolah yag berjalan berbukit2......walopun aku lebih beruntung hidup di kota...tapi itu juga di alamai bapakku sehingga dia hijrah kekota...mohon untuk pemerintah mengentaskan pendidikan...
BalasHapusSuksama