Kamis, Agustus 20, 2009

TARI PENDET PUNYA MALAYSIA?????


Baru aja 17 Agustusan Indonesia udah mesti perang lagi. Dan setelah REOG, BATIK, dan entah apalagi diklaim sekarang Malaysia mengklaim Tari PENDET!! Kurang ajar banget Secara ntu punya INDONESIA, BALI, tempat kelahiranku tercinta. Dari kecil aku sudah tahu Tari PENDET punya BALI, bahkan waktu SD, SMP, SMA, Tari PENDET itu tari wajib yang patut diketahui dan seenggaknya hafal gerakannya (inget banget karena harus remidi tari karena ga afal tarian nie). Jadi kalo dibilang masyarakat ga peduli ntu omong kosong. Di BALI kami masih sangat CARE dengan Tarian ini juga tarian lainnya!!!!!

Rabu, Agustus 19, 2009

TAMAN YANG MENANTI

Helaan angin menyapu embun di dedaunan. Matahari masih malu-malu keluar dari ufuk timur yang kemerahan. Sebuah cerita harusnya sudah bangun dari tidur. namun hari ini dia tidak muncul. Juga si pembawa cerita. Dia tak terlihat ribanya.

Lalu aku bertanya pada waktu yang telah pergi. mungkin terlihat olehnya kenapa si pembawa cerita tak kembali ke taman ini. Tapi waktu tak berbicara., hanya memberikanku pada malam sebelumnya. kala itu embun masih di udara. Bintang masih mengedip nakal di balik kegelapan awan.

Kamis, Agustus 13, 2009

RENUNGAN : DI DALAM BADAN YANG MENYUSAHKAN

Melihat mata sendiri tanpa bantuan refleksi, apakah pencarianku akan seperti itu ataukah hanya perasaanku untuk saat ini saja?

Pantas saja dulu waktu lahir aku menangis. Betapa sakitnya harus masuk ke dalam sesuatu yang liar dan menyusahkan ini. Aku bahkan tak bisa mengendalikan hati dan otakku sendiri. Gampang sekali mereka berkehendak. Tak tahukah mereka siapa bosnya???

Selasa, Agustus 11, 2009

HARAPAN DI ATAS BUKIT (GREEN CAMP ANAK ALAM) 1

Sejak kecil aku bukanlah pecinta outdoor. Tak pernah terbayang aku harus terjun dalam kegiatan yang berbau alam dan petualangan. Namun hari itu berbeda, aku berada dalam rombongan Komunitas Anak Alam yang mengikuti Green Camp.

Hari sabtu itu kami pergi menuju desa Songan dan Blandingan. Rencana awalnya sih berangkat dari Ubud jam delapan pagi, sayangnya karena beberapa alasan akhirnya perjalanan tidak mengikuti jadwal sebelumnya. Kami baru berangkat saat hari sudah agak siang sehingga di Songan kami harus menghabiskan sarapan dan makan siang hampir bersamaan. Benar-benar orang Indonesia sejati!

Tempat dimana kami menghabiskan hari pertama adalah di desa Blandingan. Desa yang cukup tinggi keberadaannya. Kami menjangkaunya dengan mobil pick up yang juga penuh dengan barang-barang sumbangan. Tapi meskipun dengan mobil yang sudah berteman dengan tanjakan ini, perjalanan ke desa Blandingan cukup membuat jantungku tertekan. Tepat di tikungan sekaligus tanjakan tajam mobil itu tiba-tiba berhenti, padahal kami sedang asik berpose untuk foto-foto narsis kami di tempat itu. Sebagian teman-teman sudah berteriak, aku sendiri langsung memegang erat-erat apapun yang bisa kugapai agar tidak terjatuh. Bayangan kalau mobil itu akan berjalan mundur (alias menurun tajam) langsung muncul di kepalaku. Saat itu jantungkupun kompak dengan teman-teman, berteriak sekencangnya.

Untung saja mobil itu hanya berhenti, Bli Pande langsung mengisyaratkan agar semua turun. Akulah yang turun pertama kali untuk menyelamatkan diri. Tepat saat kakiku menyentuh tanah aku merasa nyawaku kembali ke tempatnya. Meski setelah itu harus berjalan kaki sampai di jalan yang agak landai, aku merasa cukup senang karena selamat. hehe...

Sesampainya di Bladingan aku agak dikejutkan dengan keadaan desa itu. Rumah-rumah mereka masih sederhana, terbuat dari kayu dan beralaskan tanah. Anak-anaknyapun sederhana saja, tanpa peduli ingus yang masih menempel di wajah serta tak peduli juga pada pakaian kumal yang mereka kenakan. Debu seakan berkuasa, udara di situ membuatku kurang nyaman. Untung saja Mbak Santi membawa masker lebih sehingga aku bisa sedikit mempertahankan diri.

Meskipun terlambat, hampir semua acara dapat terlaksana, pembagian sumbangan, permainan dengan anak-anak, noton film Laskar Pelangi, dan lainnya. Di luar itu semua, kami memberikan PR untuk anak-anak Blandingan agar menulis harapan mereka di selembar kertas. Banyak harapan yang tertampung, tapi satu harapan yang paling kuingat.

Aku Ingin pergi ke Amricka


Begitu isinya. Salah satu dari harapan-harapan besar anak-anak di desa terpencil. Di atas Bukit yang bahkan perlu menempuh jarak beberapa kilometer untuk mendapatkan air itu terdapat harapan seseorang yang ingin menjelajah dunia. Sementara di luar sana, di tempat yang lebih baik, orang-orang menyalahkan keadaan atas kegagalan mereka. Aku bersyukur di sini ada anak yang masih mau bermimpi.
bersambung..

Kamis, Agustus 06, 2009

MATAHARI

Aku memandang matahari hari ini. Tak satupun geraknya menghindar dariku, tak bergeming, meski kutahu ia sesungguhnya hanya menjauh sedikit demi sedikit. Tak satupun yang mengusiknya. Akupun ta mampu dan tak ingin berbuat sebodoh itu.

Masih tersisa kenangan tentang hujan, yang membasahi seseorang di depan wajahku. Saat itu kucari-cari matahari, namun ia tak jua menengokku, bahkan hingga hujan pergi. Dia yang pergi, turut serta membawa matahari bersamanya.

Sekarang hujan berhenti, matahari sudah kembali. Namun dia, yang membiarkan hujan basahi dirinya, tak pernah kembali. Dan aku hanya bisa menunggu matahari yang kan terbit lagi esok pagi