Rabu, Februari 25, 2009

GELANG WEASLEY (2)

Ternyata ada yang protes gara-gara cerita 'Gelang Weasly' yang O'chan bilang cerpen. Maafkanlah ya...
Ini episode kedua dari 3 episode cerbung ini. Saat episode ketiga, nanti Ochan bikinkan file pdfnya. Selamat membaca.

Aku sudah kelelahan dan sepasang pelita padam itu kelihatannya menertawakanku. Suasana tempat ini berubah menjadi agak menakutkan. Di depan pintu itu sepertinya sangat nyaman. Pelan-pelan aku menuju ke situ kemudian duduk untuk istirahat.

Tepat saat aku merebahkan punggung di pintu, benda lapuk itu terbuka. Spontan aku menoleh. Sebuah lorong mewah terlihat di dalamnya. Aku menatap lorong itu tanpa kedip. Lantai marmer, tembok bertekstur, dan dekorasi-dekorasi ala Inggris membuat lorong itu mengagumkan. Jauh berbeda dengan keadaan luarnya yang kusam dan lapuk. Keindahan itu menarikku untuk menjelajahinya. Aku berdiri tanpa rasa lelah lagi, lalu masuk. Aku melangkah terus sampai jauh ke dalam. Semakin lama lorong ini semakin mengagumkan.

”Hey, siapa kau?” tanya seseorang, tapi aku tidak melihat siapapun. Lorong itupun sudah buntu.

”Heh, muggle! Lihat ke sini! Aku yang bicara!” kata seseorang lagi dari arah ujung lorong. Sebuah lukisan tergantung di situ. Wajah seorang wanita di dalamnya tepat menatap ke arahku. Rambut pirang bergelombang itu mengingatkanku pada anak kecil tadi.

”Kau yang bicara?”tanyaku ke benda itu. Aku mendekat.

”Tentu saja, di sini tidak ada siapa-siapa lagi.” mulut wanita itu bergerak. Ternyata memang benar bisa bicara.

”Wow, lukisan yang bisa bicara.” kataku sambil mengulurkan tangan ke lukisan itu.

”Jangan sentuh!” kata-kata itu membatalkan niatku. ”Nanti kau merusakku.”

”Maaf.”

”Siapa kau? Apa muggle yang di dalam itu temanmu?”

”Muggle yang di dalam? Kau panggil aku muggle?”

Wanita itu terdiam sejenak, lalu memandangiku yang kelihatan seperti orang ling-lung.. ”Sepertinya kau ga tau apa-apa. Mending pergi sana kalau ngga ada urusan!”

”Kalau bisa pergi udah pergi dari tadi!”

”Jadi kau terjebak di sini?” aku mengangguk. Si lukisan memperhatikanku dari ujung rambut sampe ujung kaki. ”Tunggu sebentar.” lukisan itu tiba-tiba bergerak keluar bingkai lalu menghilang. Aku semakin tidak mengerti apa yang aku alami.
Beberapa saat kemudian wanita di lukisan itu kembali.

”Kau disuruh masuk.”

”Benar???” aku tidak yakin

”Iya, tapi kau harus sebutkan kode masuknya dulu.”

”Pake kode-kodean segala?” kataku setengah melengking. ”Mana kutahu!”

”Kami tidak akan membiarkan orang sembarangan masuk ke sini. Hermione ingin kau masuk, tapi tetap harus menjawab kode masuknya dulu.” katanya sangat cepat. Gerakan mulutnya mirip pembawa acara di televisi.

”Hermione?” tanyaku dalam hati. Nama itu mengingatkanku pada gadis kecil tadi. Tapi sebodo amat. Yang jelas aku tidak tahu apa yang harus aku katakan untuk bisa masuk.

”Aku baru pertama kali ke sini. Aku bahkan tidak tahu tempat apa ini apalagi orang-orang yang tinggal di sini. Jelaslah aku tidak akan tahu kodenya. Lebih baik antar saja aku pulang.” kataku hampir menyamai kecepatannya.

”Sebutkan saja keluarga yang memiliki rumah ini. Kalau kau tidak tahu juga silahkan keluar dan cari jalan sendiri.”

Aku terdiam sejenak, tentu saja karena tidak tahu cara pulang. Aku mulai memutar otak dan berujung pada kejadian barusan. Khayalanku melayang ke orang-orang yang tadi yang aku lihat di luar sana, terutama tentang anak yang namanya Hermione itu, lalu beralih ke rumah aneh ini yang tiba-tiba aku temukan saat mengejar Ina, dan berakhir pada perjuanganku pergi dari sini tapi cuma menghabiskan tenaga saja.

Dengan perasaan putus asa aku duduk di atas lantai marmer dan bersandar di tembok. Pikiranku melayang-layang.

”Aku masih menunggu jawabanmu.” kata lukisan itu lagi. Aku meliriknya.

”Boleh tahu namamu siapa?”

”Kau tidak akan berhasil menanyakan nama keluargaku.”

”Aku ngga bermaksud begitu. Curiga ama sih!”

”Lalu untuk apa?”

”Cuma untuk memanggilmu aja. Ngga boleh?” kataku lagi. Mulai sebal. Wanita di lukisan itu menatapku. Aku juga memandanginya lurus-lurus, tidak mau kalah. Kami berdua diam begitu saja untuk beberapa lama.
”Kau bisa panggil aku Hermione.” si wanita dalam lukisan rupanya menyerah.

”Hermione? Namamu seperti gadis kecil yang kelihatannya sadis itu.”

”Dia tidak sadis.” sahutnya kecut. Seharusnya aku diam saja tadi.

”Maaf... Hanya saja, dia kelihatan agak menakutkan.” kataku sok memelas dengan mata berkaca-kaca. Tapi dia masih dongkol.

”Sekarang kesempatan terakhirmu. Sebutkan nama keluarga kami atau pergi dari sini!” katanya lagi, serius.

“Tunggu bentar! Kayanya sekarang aku bisa nebak.” Sahutku segera. Hermione, kata itu terngiang-ngiang terus. Lukisan itu memandangku lebih tajam dari sebelumnya. Apa dia tidak sadar kalau hal itu bikin aku grogi, atau dia sengaja? Adrenalinku meningkat tajam, jantung di dadaku berdetak jauh lebih kencang. Saat itu juga sebuah jawaban gila muncul di otakku.

“Sudah tahu?” tanya si hermione lukisan, bikin kaget. Aku agak ragu-ragu, tapi cuma jawaban itu yang terbayang.

“Granger. Bener ngga?” jawabku dengan suara pelan. Lukisan itu kelihatan kaget. Secercah sinar harapan melintas di hatiku.

“Aku heran kau bisa menjawab itu.”

“Jadi aku benar?”

“Salah!” sahut Hermione ketus. Sinar harapan yang melintas tadi tiba-tiba hilang. Tapi aku masih punya satu jawaban lagi.

“Bagaimana dengan Weasley?” Jawabku lagi. Buku Harry Potter mahakarya J.K. Rowling membuatku benar-benar terinspirasi. Nama Hermione itu mengingatkanku pada salah satu tokoh novel tersebut.

Wajah Hermione Si Lukisan mendadak kecewa. “Nanti kau harus menjelaskan bagaimana bisa menemukan nama-nama itu.” Katanya.

Sesaat kemudian tembok di sekitar Hermione retak. Retakan itu semakin jelas dalam waktu sekejap saja. Hermione menjauh, tembok yang tadinya kokoh bergerak membuka seperti pintu. Di dalam situ ada ruangan yang lebih mewah, mirip ruang keluarga lengkap dengan cerobong asap. Orang-orang di dalam langsung menghentikan kegiatan mereka melihat aku masuk.

Tepat saat menginjakkan kaki di karpet merah, tiba-tiba seorang gadis kecil berambut pirang sudah di depanku, mengacungkan sebuah tongkat hitam mengkilat.

"Katakan padaku, gimana caranya kau ke sini? Gimana juga kau bisa membuka pintu itu?"

"Aa.aku ngga tahu." cuma kalimat itu yang muncul akibat terlalu kaget. Secercah sinar merah aku lihat di ujung tongkat itu, mirip kilatan listrik. Aku ketakutan, "Hey, tunggu!! Mau apa kau!" (bersambung)

SEDIKIT KISAH TENTANG KAMPUNG HALAMAN

Sejenak pengen mengenang masa-masa dulu, waktu masih SD. Saat itu aku ngga kenal yang namanya polusi, mode, pergaulan bebas, dan sejenisnya. Aku masih anak kampung yang suka berkeliaran, entah bersepeda, menangkap ikan kecil-kecil yang biasa disebut 'nyalian timah', ditambah dengan mencuri buah-buahan di kebun orang. Aku merasa seperti Robin Hood, mencuri dari yang kaya memberi ke yang miskin,dan yang miskin biasanya si pencuri ini dan teman-temannya.

Setiap jam lima pagi aku dan teman-teman sudah asyik berlarian di jalan. Kami ditemani kunang-kunang dan gonggongan anjing, itulah kenapa orang-orang di kampungku jago lari. Di sini kami bisa melihat bintang-bintang dengan jelas, apalagi setelah habis tengah malam. Setelah kami mendapat pelajaran rasi bintang kami sering berdebat sambil menebak-nebak rasi bintang apa yang kami temukan.

Jika anak-anak sekarang menghabiskan waktu istirahatnya di dalam kelas atau di kantin, mungkin juga dengan ditemani Hpnya, anak-anak di SD-ku menghabiskan waktu mereka dengan main prosotan di bukit kecil dekat sekolah. Kami tidak memakai alas apapun, buat kami rumput yang melapisi bukit itu saja sudah cukup untuk melindungi pantat kami dari gesekan. Pada hari-hari tertentu kami berpesta di kebun dekat lapangan sekolah dengan mengadakan acara bakar ubi. sesampainya di kelas badan kami sudah bau asap.

Senin, Februari 16, 2009

DI TENGAH KESIBUKAN

Emang dasarnya o'chan kelewat santai (bisa dibilang males c), beberapa hari kemaren cuma asyik browsing ampe lupa kalo masih di kantor. Walhasil, kerjaan bejibun, semua harus lese hari itu, n ga da kata istirahat. Hasil ujian karma phala o'chan rupanya sudah keluar (hiks hiks hiks...)
Bahkan o'chan masih hutang banyak kerjaan yang belum terselesaikan. (nangisdarah modeon.

O'chan ga tau kenapa bisa begini. Palingan O'chan cuma blogwalking, baca-baca info di internet, liatin fs, kirim comment, liatin email di yahoo, liatin email di google, download e-book2 gratis, edit blog, ITU AJA. Tapi ga sadar ternyata ngabisin banyak buanget waktu.

Kembali bekerja dulu...

Jumat, Februari 13, 2009

GELANG WEASLEY (1)

Cerpen kali ini O'chan buat gara-gara mimpi aneh O'chan. O'chan sebagai penggemar Harry Potter tiba-tiba bermimpi yang ada hubungannya dengan itu. Tapi sayangnya O'chan ga ketemu Harry Potter, ngga sama sekali. Jadi sebel. :-( Tapi biarpun begitu O'chan pengen coba jadiin mimpi aneh itu cerpen. just 4 iseng. hehehe... Ok, kita mulai ceritanya.

Aku menyibak semak-semak beluntas dan kembang sepatu untuk mengintip beberapa orang itu. Entah hal bodoh apa yang membuatku harus mengikuti Ina sampai ke tempat seperti ini. Aku maju, agar bisa melihat lebih dekat. Ina sedang bicara dengan mereka, sayangnya dengan jarak sejauh ini membuatku tidak bisa mendengar apapun.

Tiba-tiba pepohonan di kananku bergoyang hebat terhempas angin, beberapa daunnya sampai tercabut dan beterbangan. Angin itu juga mengacaukan rambutku yang tidak sempat kuikat. Aku terkejut melihat klebat bayangan dari arah tadi. Sebuah sapu menukik cepat dengan dua orang di atasnya. Jantungku seakan berhenti berdetak dalam sesaat. "SAPU TERBANG!!!" Aku benar-benar tidak percaya penglihatanku. Refleks saja aku mengucek mata dan melihat kembali baik-baik. Sekarang sapu itu berhenti, tapi masih melayang. Setelah dua orang di atasnya turun sapu itu otomatis menyerahkan diri ke tangan orang yang lebih besar. Kedua orang itu melengkapi mereka semua sehingga sekarang menjadi enam orang termasuk Ina.

Wanita yang memegang sapu membersihkan jubahnya. Ada beberapa rumput kering serta debu yang melekat. Sementara gadis kecil yang bersamanya masih memegang sebuah buku tebal warna cokelat. Dia spontan menutup hidung ketika orang yang bersamanya mengibaskan jubah. Mulut gadis kecil itu bergerak-gerak, sepertinya menggerutu.

Aku mundur, mau pergi. Saat itu juga tiba-tiba gadis kecil itu menoleh ke arah tempatku bersembunyi. Bulu kudukku langsung merinding. Tatapan mata tajam, ingin tahu dan menyelidik itu seakan menembus semak, membuatku merasa terlihat. Kebekuan menyerangku secara mendadak. Aku tidak bisa bergerak sama sekali. Aku ingin lari tapi seluruh anggota badan tidak mau menurut pada perintahku.

Gadis kecil itu masih menatap ke arah sini. Pandangannya menunjukkan rasa ingin tahu yang semakin besar. Aku masih mencoba mundur tapi tak satupun anggota tubuhku yang bisa bergerak. Gadis itu melangkah pelan-pelan meninggalkan lima orang yang lain, mendekat ke arahku. Aku masih mencoba melakukan apa saja agar bisa menjauh. Tapi sama seperti tadi tubuhku mendadak seperti batu. Dia semakin dekat, seperti tahu akan mendapat tangkapan empuk.

“Ya Tuhan, tolong...” doaku memelas. Aku merasa bersalah baru ingat Tuhan sekarang. Biar begitu aku belum siap ditangkap orang pake sapu terbang. Aku menutup mata pasrah sambil berkali-kali menyebut nama Tuhan dalam hati.

Derap langkah itu terdengar makin jelas. Suaranya berkresak seperti menginjak dedaunan kering. Jantungku seakan mau melompat keluar. Detaknya semakin kencang dan tidak teratur. Suara derap langkah itu berhenti. Apa dia sudah di depanku?

“HERMIONE!” teriak seseorang. Aku masih membatu. Suara derap langkah terdengar lagi. Namun kali ini suaranya semakin lemah. Aku membuka mata ketika suara itu tidak terdengar lagi. Semua orang itu masuk. Aku hanya sempat melihat jubah terakhir lalu pintu tertutup.

Sebuah kehangatan menjalar ke seluruh tubuhku. Saat itu juga aku merasa normal kembali. Tubuhku sudah mengikuti apa yang aku perintahkan. Ini aneh. Cukup sudah, aku harus pergi sekarang.

Aku mengambil arah kembali. Tapi ternyata tidak semudah kedatanganku. Semakin jauh aku berjalan semak-semak semakin rimbun dan semakin tinggi saja. Aku heran, rasanya tadi aku di kebun belakang Ina, kenapa sekarang berubah?

Ada seberkas cahaya di balik semak beberapa meter di depan. Setelah dekat, aku melihat sebentuk rumah. Hal ini melegakan. Langkahku semakin cepat. Api semangat kembali memompa energiku. Akhirnya aku tembus semak terakhir. Berhasil! Sejenak aku ambil nafas dalam. Udara segar langsung menyegarkan paru-paru.

Aku mengalihkan pandangan ke rumah yang akhirnya kutemukan. Perasaan takut kembali menyerangku. Aku perhatikan rumah itu lebih serius. Warna catnya, Pintu rumah itu yang tepinya sudah lapuk, sepasang pelita yang menemani pintu itu, ornamen jendelanya....

Ini gila! Aku rupanya kembali ke tempat yang tadi.

Aku berbalik ke dalam semak lagi. Kali ini aku tidak mau menikung-nikung agar tidak berputar ke arah yang sama. Setidaknya dengan berjalan lurus berarti aku pasti menjauh dari tempat itu. Jalan kali ini ternyata lebih panjang dan lebih lebat. Aku bahkan tidak tahu akan dibawa kemana. Biarlah.

Pohon-pohon dan semak-semak rimbun mulai berkurang. Energiku sebenarnya hampir habis untuk berjuang menembus daerah mirip hutan hujan tropis ini. Beberapa kali aku menginjak ranting atau entah apa. Kakiku sakit gara-gara itu. Tapi sekarang hal itu sudah berkurang. Aku punya firasat akan sampai di tempat yang lebih lapang.

Dan benar saja, semak semakin menipis, cahaya matahari semakin terang. Aku keluar dari kegelapan dan sesak pepohonan. Keringat mengalir di punggungku dan rambutku mungkin saja dipenuhi dedaunan. Aku mendongak ke arah matahari, senang rasanya bisa bertemu dia lagi. Aku melangkah perlahan-lahan menjauhi semua pohon-pohon itu. Suara kresak daun-daun kering yang terinjak menemani siangku ini. Di depan sana ada sesuatu untuk beristirahat sejenak. Tidak jauh, tinggal beberapa langkah saja. Sebuah rumah tua dengan pintu rumah yang tepinya lapuk.

Nafasku langsung tercekat menyadari apa yang terjadi. Aku kembali ke rumah itu lagi.(bersambung)

Rabu, Februari 11, 2009

SAMSARA, BERMAKNA



Sebuah karya yang unik. Itu saja.

Buku yang ditulis Pande Putu Setiawan ini unik dan nyentrik. Aku sangat menikmati lembar demi lembarnya. Di bawah ini sepenggal paragraf yang menarik.
Hujan baru saja reda
Setelah seharian bantal menjadi begitu menarik
Udara lagi kurang bersahabat, tanya kenapa...???
Ada banjir di kota,...berita basi... sudah biasa...
Negara yang peduduknya tida pernah pintar,
Padahal menghasilkan ribuan profesor, doktor, master...
Siapa yang mesti disalahkan...???
Pertanyaan biasa...
Orang lain,...? Jawaban basi...
Negara yang penduduknya selalu 'merasa' pintar...
Hanya 'merasa...'
Negara yang penduduknya masuh juga belum dewasa dan belum paham,...
Padahal banyak orang-orangyang telah disucikan...
Apa iya suci,...? Kamu tanya yang mensucikannya...
Aku tanya Tuhan...
Gimana menurut kalian?

Halaman demi halaman kita dibawa menyelami kehidupan. Buku yang membuat benar-benar terhanyut. Yang pengen tahu lebih dalam tentang buku ini cek aja websitenya www.samsarik.com

Rabu, Februari 04, 2009

MAHALNYA KEDAMAIAN


Satu lagi kebrutalan massa yang menambah daftar panjang kerusuhan di Indonesia. Massa mengamuk, bahkan menewaskan Ketua DPRD mereka sendiri. Kedamaian rupanya semakin mahal di negara merah putih ini.
Sore kemarin saya begitu shock melihat aksi massa di Sumatra Utara. Tanpa belas kasih mereka menyeret dan memukuli Aziz Angkat, Ketua DPRD mereka sendiri. Tak elak Ketua DPRD yang baru menjabat 2 bulan itu meninggal dunia.

Kerusuhan semacam ini membuat saya prihatin. Indonesia terkesan seperti negara anarkis, pecinta kekerasan, tidak beretika, tidak punya hukum, tidak menghormati demokrasi dan tidak menghormati negara sendiri. Betapapun salah dan jahatnya seseorang, tetap saja mereka tidak pantas diperlakukan seperti itu. Kelakuan orang-orang semacam ini lebih rendah dibanding koruptor yang sering didemo.

Para anggota DPRD begitu tertusuk dan marah. Beberapa di antara mereka menyebut nama Pangabean sebagai dalang atas semua kejadian itu. Melihat hal ini saya heran kenapa makin hari makin banyak orang terjebak hasutan-hasutan tidak wajar. Mungkin perekonomian yang terpuruk menjadikan orang-orang Indonesia semakin tidak punya akal sehat.

Dalam sebuah forum saya sempat membaca pedapat dari orang Vietnam tentang Indonesia
Mahasiswa di Makasar yang seharusnya menjadi bagian dari kaum intelektual, ternyata perilakunya lebih buruk dari politisi yang didemonya. Dengan dalih kebanggaan pada jurusan/fakultas dimana mereka belajar, mahasiswa rela beradu otot dengan dibantu seperangkat alat anarkis seperti batu, besi, pisau, dan lainnya yang mampu mencederai sampai membunuh musuhnya.

Lebih parah lagi, bangunan dan atribut kampus yang dibangun dengan uang hasil pajak masyarakat dirusak. Lalu apakah mereka pantas disubsidi ? Sementara orang kecil bekerja dengan keras untuk membayar pajak, supaya mahasiswa ini mendapat biaya yang murah seperti yang mahasiswa tuntut selama ini.

Wahai mahasiswa, kalo anda tidak mampu untuk berpikir dan menjadi orang yang berguna lebih baik keluar sekarang juga berikan kesempatan yang mulia itu untuk orang lain yang mau dan mampu berpikir. Jika perilaku bodoh mahasiswa masih terus berlangsung maka semakin bertambah investasi yang telah kita tanamkan untuk keterpurukan bangsa ini di masa datang.

Apa yang membuat Negara Indonesia berantakan seperti sekarang ini, kenapa krisis yang tidak kunjung hilang dan bertambah hari justru bertambah buruk kondisinya.

Sebagian orang lebih banyak menyalahkan pemerintah tidak bisa mengatur negara, tidak berpihak pada rakyat. Sementara kaum beragama mengatakan adanya kebobrokan moral yang menyebabkan Indonesia tidak punya orientasi yang jelas dan cenderung tidak berakhlak.

Muncul kelompok-kelompok yang berusaha menjadi Superman untuk menyelamatkan negeri ini (label yang mereka bawa) dengan cara mereka sendiri yang terkadang cenderung lebih koboy daripada negeri asal koboy.

Satu hal yang melandasi segala peristiwa yang pada akhirnya menjerumuskan Indonesia kedalam keterpurukan yang mungkin tidak pernah selesai atau harus diselesaikan dengan kiamat yaitu KEBODOHAN Indonesia sendiri yang membawa ini semua. Buah dari benih yang telah ditanam yaitu kebodohan itu telah dipanen dan dinikmati oleh negara Indonesia ini.(DON TRUONG, HONAI VIETNAM)


Berlebihankah? Patut kita renungkan.

Ini kasus lain yang juga mencoreng nama Indonesia. Jika dengan membaca ini Anda menilai saya tidak suka segala bentuk aspirasi, Anda salah besar. Aspirasi di mata saya sebaiknya diungkapkan dengan cara-cara yang lebih terhormat. Banyak kog yang berdemo tapi tidak sampai anarkis seperti itu.

Kejadian seperti ini membuat saya menyadari sesuatu. Ternyata ada satu hal yang sangat mahal harganya di negeri tercinta kita ini, yakni kedamaian. Sayang hal itu dilupakan karena tertutupi masalah ekonomi dan masalah-masalah lain yang membuat Indonesia carut-marut.